Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat
kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri
dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta
modus yang makin beragam.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan
bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini
termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country,
karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan,
hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala
urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Korupsi membawa dampak pada kesenjangan ekonomi akibat memburuknya
distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah
demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena
uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaedah-kaedah
ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena
uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada
dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam
pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Melihat permasalahan tersebut diatas sesungguhnya telah ada niat
cukup besar untuk mengatasi korupsi. Namun penanganan korupsi tidak
dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh.
Ini terlihat dari tak adanya keteladanan dari pemimpin dan sedikit atau
rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi sementara masyarakat tahu
bahwa korupsi terjadi di mana-mana.
Kini, masyarakat tentu sangat menantikan upaya-upaya manjur untuk
mengatasi salah satu problem besar negara ini. Pertanyaannya, bagaimana
upaya itu harus dilakukan? Secara khusus, jalan apa yang bisa diberikan
Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh penduduk negeri ini
dan mungkin juga paling banyak dianut oleh para koruptor, agar
benar-benar kerahmatan yang dijanjikan bisa benar-benar terwujud?
Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara sebagaimana ditunjukkan oleh syariat Islam.
Pertama, sistem penggajian yang layak.
Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit
berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat
tetaplah manusia biasa.
Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang
diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan
rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai
pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan
tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil
selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”. Oleh karena itu, harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan di negeri ini.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah.
Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti
mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa
maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak
menguntungkan pemberi hadiah.
Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk
membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya
untuk orang Yahudi datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa
perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
Nabi sebagaimana tersebut dari hadis riwayat Bukhari mengecam keras
Ibnul Atabiyah lantaran menerima hadiah dari para wajib zakat dari
kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental
aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya sampai dia
menerima suap atau hadiah.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang
melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat.
Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan
korupsi.
Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan,
keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan
dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar
bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.
Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di
awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar,
yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan
bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan
harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal, atau membagi dua
kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara.
Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik
yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan
korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin
tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa,
seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.
Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia
bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya,
Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai
pertanggungjawaban.
Di sinilah diperlukan keteladanan dari para pemimpin itu. Khalifah
Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin
Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik
Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas
negara.
Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, khalifah Umar
bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi
kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah
terdeteksi sedari dini.
Kelima, hukuman setimpal. Pada dasarnya,
orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya,
termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor.
Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas
koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi.
Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau
pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa
ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta
dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat
dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan
keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal
pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah
memberikan jalan yang sangat gamblang mengenai pemberantasan korupsi
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Semoga cara ini bisa menjadi
masukan dalam meminimalisir tindak korupsi di Indonesia.
Wallahualam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar